Serayu Scarf terinspirasi dari Kerajinan Tekstil (wastra) khas Sumatera. Perwakilan teknik tekstil surface diambil inspirasi dari Bordir Bukit Tinggi dan perwakilan dari teknik tekstil struktur diambil inspirasi dari Songket Palembang.
BORDIR BUKIT TINGGI
Kerajinan bordir sudah dikenal oleh masyarakat Minangkabau, semenjak dibawa oleh bangsa Cipai suku Keling tahun 1818, bekas tantara Rafless di Bengkulu. Mereka tidak mau kembali ke negara asalnya, kemudian hijrah dan menetap Pariaman. (Wachid, 1997:135). Kerajinan bordir berhubungan erat dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai Upacara Adat yang selalu digunakan sebagai bahan pakaian. Bahan pakaian untuk upacara adat tersebut terdiri dari : busana Bundo Kanduang (baju, selendang dan kodek/sarung), hiasan pelaminan, (terdiri dari tirai, langit-langit, dan banta gadang), dan hiasan carano.
Kerajinan bordir Bukittinggi memiliki berbagai macam bentuk motif hias, di antaranya: motif kaluak paku (keluk/ lengkung pakis), pucuak rabuang (pucuk rebung/ anak pohon bambu yang baru tumbuh),itiak pulang patang (itik/bebek pulang petang); dan saik ajik (potong wajik). Namun dalam perkembangannya sekarang, terjadi perubahan motif, yang disesuaikan mengikuti keinginan selera pemesannya.
SONGKET PALEMBANG
Songket Palembang adalah salah satu karya budaya dari Sumatra Selatan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut sejarah, keberadaan tradisi kain songket awalnya muncul pada masa kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad ke-7 hingga abad ke-13. Menurut hikayat rakyat Palembang yang juga dikisahkan secara turun-temurun, awal mula kain songket berasal dari pedagang Cina yang membawa sutra, pedagang India dan timur tengah membawa emas, kemudian jadilah kain songket yang berlapis emas di tangan orang Palembang. Keberadaan tradisi kain songket di Indonesia juga kerap dikaitkan dengan kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang.